Kamis, 27 Agustus 2015

MEMAHAMI AJARAN KETUHANAN DALAM VEDA



MEMAHAMI AJARAN KETUHANAN DALAM VEDA
Oleh : Karnadi, S.Pd.H, M.Si

1.    Latar Belakang
Dalam ajaran Agama Hindu, kita mengenal tiga kerangka dasar sebagai pilar yaitu; tatwa, susila dan upacara. Ketiga hal ini saling menguatkan dan saling menjiwai. Pemahaman tatwa yang baik, keyakinan tatwa yang kuat akan tercermin dalam susila atau tingkah laku yang luhur, juga tercermin dari ketulusan upacara-upacara yang dilaksanakan. Demikian juga pelaksanaan upacara-upacara akan memperhalus tingkah laku dan akan memperkuat keyakinan atau tatwanya.
 Pemahaman tatwa yang baik sangat penting karena akan memperkuat sraddha / keyakinan seseorang. Sraddha berfungsi sebagai alat atau sarana dalam mengantar manusia menuju kepada Tuhan. Pengertian ini dapat kita lihat dalam Yajur Veda XIX.30 dan 77 yang mengatakan : sraddhaya satyam apyati (dengan sraddha orang akan mencapai Tuhan), sraddham satye prajapatih (Tuhan menetapkan, dengan sraddha menuju kepada satya) (Gde Puja : 1984).
Kemunduran keberadaan Hindu di Nusantara serta penurunan populasi penganut Hindu pada awal abad 16 salah satu penyebabnya adalah karena diserang dari segi tatwanya. Ada dua hal sebagai sasarannya yaitu; tentang penggolongan strata sosial (catur warna, catur wangsa, kasta) yang kini sudah mulai pulih dan paham ketuhanan. Pemahaman yang kurang baik mengenai catur warna akan memberikan citra bahwa Hindu mengajarkan pembagian strata sosial yang diskriminatif. Demikian pula pemahaman ajaran ketuhanan dalam Veda yang kurang baik akan memberikan citra bahwa penganut Hindu menyembah patung dan sebagainya.
Oleh karena itu peningkatan pemahaman umat tentang tatwa ini sangat penting. Terutama dalam menghadapi pergaulan sosial yang heterogen dalam agama, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Apabila pemahaman umat rendah maka akan menimbulkan rasa rendah diri, sikap tertutup (tidak mau berdialog), mudah goyah keyakinannya, mudah dikonversi, juga mengalami sindrom minoritas. Namun sebaliknya apabila umat memiliki pemahaman dan keyakinan yang baik terutama tentang ajaran ketuhanan dalam Veda maka akan melahirkan sikap, prilaku, dan etika yang luhur seperti; sikap menghargai orang lain, sikap welas asih dan kasih sayang kepada sesama makhluk (prema), dan sikap toleransi yang tulus terhadap perbedaan.

2.    Macam-macam Paham Ketuhanan di Dunia
Ajaran ketuhanan dapat dipandang dari dua sudut yaitu pandangan agama dan pandangan filsafat. Kedua pandangan ini tentu berbeda. Pandangan agama tentang Tuhan Yang Maha Esa atau ajaran ketuhanan menurut ajaran agama disebut teologi. Pandangan ini bersifat sebagai keimanan dan dinamai atau diyakini oleh pemeluknya. Sedangkan pandangan filsafat berdasarkan pendekatan pikir (rasional) sesuai dengan filsafat. Di dalam filsafat ketuhanan, pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa ada beraneka ragam, sebagai berikut :
a.    Animisme yaitu keyakinan akan adanya roh bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula.
b.    Dinamisme yaitu keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam. Kekuatan alam ini dapat berupa mahluk (personal) ataupun tanpa wujud. Tuhan juga disebut sebagai Super Natural Power (kekuatan alam yang tertinggi)
c.    Totemisme yaitu keyakinan akan adanya binatang keramat yang sangat dihormati. Binatang tersebut diyakini memiliki kesaktian. Umumnya adalah binatang mitos, juga binatang tertentu di alam ini yang dianggap keramat.
d.    Polytheisme yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan berbeda-beda sesuai dengan keyakinan manusia.
e.    Natural Polytheisme yaitu keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai penguasa berbagai aspek alam.
f.     Henotheisme atau kathenoisme yaitu keyakinan terhadap adanya deva yang tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan oleh deva yang lain sebagai deva tertinggi.
g.    Pantheisme yaitu keyakinan bahwa di mana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan.
h.    Monotheisme keyakinan terhadap adanya Tuhan yang satu. Keyakinan ini dibedakan atas :
1)    Monotheisme Transendent yaitu keyakinan yang memandang Tuhan yang satu berada jauh di luar ciptaan-Nya, maha luhur dan tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia.
2)    Monotheisme Imanent yaitu keyakinan yang memandang bahwa Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya, tetapi Dia berada di luar sekaligus di dalam ciptaan-Nya.
i.      Monisme yaitu keyakinan terhadap adanya keesaan Tuhan yang merupakan hakekat alam semesta. Esa dalam segalanya, segalanya berada di dalam yang esa.

3.    Ajaran Ketuhanan dalam Veda
Pertanyaannya sekarang dipandang dari pandangan filsafat maupun teologi termasuk yang manakah ajaran ketuhanan dalam Veda ? jawabannya ada bermacam-macam sesuai dengan pendapat para ahli. Berikut ini beberapa pendapat para ahli tersebut :
a.    Max Muller seorang ahli indologi berkebangsaan Jerman mengatakan bahwa paham ketuhanan dalam Veda adalah Henotheisme atau Kathenoisme. Menurutnya hal ini dijumpai dalam Rgveda, pada suatu masa Deva Agni menempati kedudukan tertinggi, tetapi pada masa berikutnya Beliau digantikan oleh Deva Indra, Vayu atau Surya. Dan dalam perkembangan berikutnya, terutama pada kitab-kitab purana deva-deva tersebut digantikan oleh Deva-Deva Tri Murti (Brahma, Visnu, Shiva).
b.    A.C.Bose dalam bukunya The Call Of The Vedas mengatakan bahwa paham ketuhanan dalam Veda disebutnya dengan istilah Advaitisme Veda. Yaitu Tuhan dipuja sebagai Yang Esa dalam yang Banyak dan Yang Banyak dalam yang Esa atau pemujaan Satu Tuhan dengan nama dan wujud yang banyak. Menurutnya ada dua aspek penting dalam Advaitisme Veda, yaitu aspek subyektif dan aspek obyektif. Aspek subyektif, jika kita mengingat penganutnya, kepercayaan ini tampaknya bersifat monotheistik dalam arti filosofis. Dan aspek obyektifnya, bila kita mengabaikan perasaan subyektif dan memusatkan pikiran pada masalah perwujudan jamak, maka kepercayaan itu tampaknya sebagai politheisme.
c.    Sejarawan Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda menyimpulkan bahwa bangsa India dan Asia Timur adalah Pantheisme. Menurutnya pantheisme berbeda dengan monotheisme Yahudi. Dalam pandangan pantheisme, ihwal ketuhanan termaktub (imanent) di alam semesta. Dalam pandangan monotheisme ihwal ketuhanan direnggut dari alam semesta dan dibuat berada di luar pengertian dan pengalaman manusia (transendent). Ngakan Putu Putra sependapat dengan kedua tokoh ini sebagaimana dinyatakan dalam bukunya Tuhan Upanisad Menyelamatkan Masa Depan Manusia.
d.    Menurut Kitab-Kitab Upanisad, ketuhanan dalam ajaran Veda adalah monisme. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Brhadāranyaka Upanisad dalam sebuah kalimat “Sarvam khalvidam Brahman” yang berarti segalanya adalah Brahman.
e.    Sedangkan Dr. I Made Titib dalam bukunya Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, menyimpulkan bahwa ketuhanan dalam Veda adalah Monotheisme Transendent, Monotheisme, dan Monisme.

4.    Kesimpulan
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan tentang paham ketuhanan dalam ajaran Veda. Apapun itu, yang jelas paham ketuhanan dalam Veda adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut penulis pengungkapan yang tepat adalah sebagaimana disampaikan A.C.Bose yaitu Advaitisme Veda. Tuhan (Brahman) dipuja sebagai yang esa dalam yang banyak dan yang banyak dalam yang esa. Brahman yang Tunggal dipuja dalam nama dan wujud yang banyak. Hal ini dapat kita pelajari dari sloka-sloka manupun mantra-mantra dalam Veda. Berikut ini beberapa diantaranya :
1)    Mantram Tri Sandhya bait ke tiga :
Om tvam śivah tvam mahādevah, īśvarah parameśvarah, brahmā viśnusca rudraśca, purusah parikīrtitah.
Artinya :
Ya Tuhan, Engkau adalah Siva, Mahadeva, Isvara, Paramesvara, Brahma, juga Visnu, dan Rudra. Engkaulah Purusa yang selalu dipuja.

2)    Rig Veda I.164.46
Indram mitram varunam agnim āhur, atho divyah sa suparno garutmān, ekam sad vipra bahudhā vadantyagnim yamam mātarisvānam āhuh.
Artinya :
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan ada Garutman Ilahi yang bersayap indah. Keberadaan Yang Esa orang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.


3)    Yajur Veda XXXII.1
Tad eva agnis tad ādityas tad vāyus tad u candramāh, tad eva śukra tad brahma tā ‘āpah sa prajāpatih.
Agni adalah itu, Aditya adalah itu, Vayu adalah itu, Candra adalah itu. Sinar adalah itu, Brahma adalah itu, Apah (air) semua itu, Prajapati adalah Dia.

4)    Bhagavad Gita XI.9
Vāyur yamo ‘gnir varunah śaśānkah prajāpatis tvam prapitāmahaś ca, namo namas te’stu sahasra-krtvah punaś ca bhūyo’pi namo namas te.
Artinya :
Engkau adalah Vayu, Yama, Agni, Varuna, Sasankah (Candra), Prajapati dan leluhur semua makhluk. Engkau dihormati dengan penuh penghormatan bahkan berulangkali memberi penghormatan pada-Mu.

Dari sloka-sloka di atas kita dapat memahami bahwa nama dan wujud yang banyak sesungguhnya adalah sesuatu yang tunggal. Yang tunggal adalah Brahman hakekat ketuhanan sejati, sebagai sumber dari segala ciptaan dan tempat kembalinya segala ciptaan pada akhir jaman.
Yang perlu kita sikapi adalah jangan menganggap bahwa paham ketuhanan yang satu lebih baik dari paham ketuhanan yang lain, misalnya monotheisme lebih baik dari paham ketuhanan Veda. Kini mulai disadari bahwa paham ketuhanan monotheistik mempunyai sisi buruk bagi kehidupan. Contohnya;
-          monotheistik berpendapat dialah satu-satunya yang benar sehingga paham yang lain dianggap salah, sehingga menimbulkan pertentangan dan permusuhan, penafsiran yang berbeda dianggap murtat. Veda tidak demikian, Veda menganggap pemahaman kebenaran sesuai dengan tingkat spiritual sesorang. Sehingga dalam perjalanan sejarah sekian ribu tahun belum pernah memurtatkan penafsiran yang berbeda.
-          Monotheistik berpendapat manusia makhluk tertinggi dan dunia ini disediakan untuknya, sehingga menimbulkan eksploitasi alam secara berlebihan yang telah terbukti dapat menghancurkan kehidupan itu sendiri. Sedangkan Veda tidak. Veda menganggap bahwa setiap kehidupan baik manusia, hewan, dan tumbuhan memiliki Atman yang sama, semuanya sedang menjalankan perjalanan mencapai tujuan tertingginya yaitu Brahman. Sehingga menimbulkan sikap kasih sayang dan welas asih kepada alam dan lingkungan.
-          Monotheistik cenderung memaksakan keseragaman dalam segala hal. Hal ini dapat mengakibatkan penindasan terhadap kebudayaan suatu bangsa yang dianggap tidak sesuai dengan ajarannya. Sedangkan Veda sangat menghargai pluralisme dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak menimbulkan penjajahan terhadap kebudayaan lain.

Pemahaman dan penghayatan ajaran ketuhanan dalam Veda dengan benar, akan membentuk sikap menghargai manusia dan makhluk lain dengan tulus. Sehingga manusia-manusia Hindu dapat menjadi pelopor humanisme dan pluralisme.

Daftar Pustaka :
1.    Bose, A.C,                       : Panggilan Veda, Paramita, Surabaya, 2005 (penerjemah I Wayan Maswinara)
2.    Chandogya Upanisad, Yayasan Parijata, Jakarta, 1989
3.    Pudja, Gde MA, S.H,     : Bhagawad Gita, Paramita, Surabaya, 2004
4.    Pudja, Gde MA, S.H,     : Pengantar Agama Hindu II; Sraddha, Mayasari, Jakarta, 1984
5.    Titib, I Made, Dr.             : Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya, 1998

Rabu, 26 Agustus 2015

Ajaran Ketuhanan dalam Siwatattwa



AJARAN KETUHANAN DALAM SIWATATTWA

Oleh : Karnadi, S.Pd.H, M.Si
I.          PENDAHULUAN
Sebelum membahas lebih jauh tentang ajaran ketuhanan dalam siwatattwa, ada baiknya dibahas terlebih dahulu pengertian siwatattwa. Siwatattwa berasal dari dua kata yaitu siwa dan tattwa. Siwa berarti nama aspek Sang Hyang Widdhi atau Brahman dalam fungsinya sebagai pelebur alam semesta atau nama Dewa dalam Tri Murti. Sedangkan tattwa menurut kamus Sanskerta-Indonesia (I Gde Semadi Astra dkk,2001) berarti kebenaran, kenyataan, dan sesungguhnya. Dengan demikian siwatattwa berarti ajaran kebenaran atau kenyataan atau sesungguhnya dari aspek Sang Hyang Widdhi atau Brahman dalam fungsi-Nya sebagai pelebur alam semesta atau Siwa.
Sumber ajaran siwatattwa adalah lontar-lontar seperti; Bhuwana Kosa, Tattwa Jñāna, Mahājñāna, Ganapatitattwa, Wrhanspatitattwa, Jñānasiddhānta, dan beberapa puja yang bercorak monisme. Lontar-lontar tersebut ditulis dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuna yang kesemuanya bercorak Siwaistik. Apablia diperhatikan dari isi ajaran dalam lontar-lontar tersebut, isinya mengandung persamaan dengan Veda Samhita, Upanisad, Purana, dan darsana. Jadi tidak salah kiranya bila dikatakan bahwa sumber ajaran siwatattwa adalah Veda.
Mengingat sumber ajaran siwatattwa adalah Veda maka paham ketuhanan dalam siwatattwa juga sesuai dengan Veda yaitu ketuhanan yang maha esa, esa dalam keanekaragaman, keanekaragaman dalam yang esa. Juga dapat dikatakan bahwa paham ketuhanan dalam siwatattwa bersifat monotheistik. Secara lebih jelas terdapat dalam  bahasan berikutnya.

II.        AJARAN KETUHANAN DALAM SIWATATTWA
a.         Brahman adalah Siwa
Dalam kitab-kitab Upanisad Tuhan  sebagai sumber segala yang ada, pencipta, pemelihara dan pelebur segala yang ada ini disebut dengan Brahman. Dari Brahmanlah munculnya purusa, pradhana atau prakerti dan seterusnya dalam proses penciptaan. Dari Brahmanlah kemudian tercipta wujud-wujud seperti Narayana, Brahma, Wisnu dan Siwa. Akan tetapi karena siwatattwa ini bercorak siwaistik, maka Bhatara Siwa adalah Brahman sebagai sumber segala yang ada, pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta beserta isinya. Dari Bhatara Siwalah munculnya wujud-wujud Dewa seperti Narayana, Brahma, Wisnu dan seterusnya. Hal ini dapat dilihat dalam Bhuwana Kosa , Ganapatitattwa, Jnanasiddhanta, dan lain-lain yang menguraikan tentang penciptaan alam semesta dan makhluk-makhluk hidup.



b.        Sifat Bhatara Siwa; Nirguna dan Saguna, Transenden dan Imanent
Mengingat Bhatara Siwa adalah Brahman maka sifat-sifat Bhatara Siwa adalah nirguna juga saguna. Nirguna artinya tanpa sifat-sifat dan saguna adalah memiliki sifat-sifat yang bisa dikenali. Bhatara Siwa juga bersifat transcendent dan immanent. Transcendent artinya Bhatara Siwa diluar jangkauan pikiran dan indriya manusia. Sedangkan bersifat immanent artinya hadir dimana-mana, meresapi segala yang ada, dan meliputi segala yang ada. Hal ini tercantum dalam Bhuwana Kosa II.6 sebagai berikut :
Ṥivas sarvagata sūkṣmah bhūtānām antarikṣavāt,
Acintya mahāgṛhyante na indriyaṁ parigṛhyante.

Bhatara Ṥiwa sira wyāpaka, sira sūkṣma tar kneng angên-angên, kadyangga ning ākāśa, tan kagṛhita de ning manah mwang indriya.
                                                                                              (Bhuwana Kosa II.6)
Artinya :
Bhatara Siwa meresapi segala, ia gaib tak dapat dipikirkan, Ia seperti angkasa tak terjangkau oleh pikiran dan indriya.

c.         Siwa adalah sumber segala yang ada
Alam semesta dan segala yang ada ini, makhluk hidup dan benda mati semuanya berasal dari Bhatara Siwa, dan pada akhirnya akan kembali pada Bhatara Siwa demikian yang diajarkan dalam siwatattwa seperti dalam Bhuwana Kosa berikut ini.

Yathottamam iti sarve, jagat tattwa va līyate,
Yathā sambhava te sarvam, tatra bhavati līyate.

Sakweh ning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhaṭāra Ṥiwa ika, līna ring Bhaṭāra Ṥiwa ya.
                                                                                              (Bhuwana Kosa III.80)
Artinya:
Seluruh alam ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali kepada Bhatara Siwa juga.

d.        Siwa adalah pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta (utpati, stiti, dan pralina)
Bila dalam kitab-kitab Purana disebutkan bahwa tugas penciptaan alam semesta dan isinya ini diberika kepada Brahma, pemeliharaan kepada Wisnu dan penyerapan kembali kepada Siwa, maka dalam siwatattwa semua tugas tersebut dilaksanakan sendiri oleh Bhatara Siwa sebagai Brahman. Hanya wujudnya saja sebagai Brahma, Wisnu dan Rudra. Hal ini dijelaskan dalam sloka berikut ini;


Brahmāsṛjayate lokam, viṣṇuve pālakasthitam.
Rudratve samharaśceva, trimūrtih nama evaca.

Lwir Bhaṭṭara Ṥiwa magawe jagat, Brahmā rūpa sirān pangrakṣa jagat, Wiṣṇu rūpa sirān pangrakṣa jagat, Rudra rūpa sira mralayakên rat, nāhan tāwak nira, bheda nama.
                                                                                              (Bhuwana Kosa III.76)
Artinya :
Adapun penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini adalah; Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini, Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini, Rudra wujudnya waktu mempralina dunia ini. Demikianlah tiga wujudnya (Tri Murti) hanya beda nama.

Demikian juga dalam sloka berikut :
Utpatti bhagavān brahmā, sthiiti viṣṇuh tathevaca
Pralīna bhagavān  rudra, trayastrailokasaraṇaḥ.

Bhaṭāra Brahmā sirotpatti, Bhatara Wiṣṇu sira sthiti, Bhaṭāra Rudra sira pralīṇa, nahan tang tiga pinaka saraṇa ring loka.
                                                                                              (Bhuwana Kosa VII.25)
Artinya :
Bhatara Brahma adalah pencipta, Bhatara wisnu adalah yang memelihara, Bhatara Rudra adalah praline. Demikianlah Dewa yang tiga itu sebagai pelindung.

e.         Siwa ada di mana-mana
Siwa sebagai Brahman hadir dimana-mana, meliputi dan meresapi segala yang ada. Tak ada ruang yang tanpa kehadirannya. Kutipan sloka Bhuwana Kosa berikut ini dapat memperjelas pernyataan di atas.
Kaste-kaste yathā bahniḥ, sukṣmatvam upalabhyate,
Bhūte-bhūte mahādevaḥ, sūkṣma eno upalabhyate.

Sang Hyang Apuy hanerikang kayu-kayu, ndatan katon, makanimitta sūkṣmanira, yathā kadyangganing ākāśa, mangkana ta Bhaṭāra Mahādewa, an hana ring sarwa māwak, ndātar kapangguh sira, makanimitta ng sūkṣmanira.
                                                                                              (Bhuwana Kosa II.18)


Artinya :
Api itu ada pada kayu, namun tidak kelihatan, karena halusnya, ibarat angkasa. Demikianlah Sang Hyang Mahadewa hadir pada semua yang berwujud, tetapi tidak tampak, karena halusnya.

f.          Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa, dan Atmikatattwa
Hakikat Siwa sebagai Brahman dapat dipahami dalam tiga tingkat atau jenjang pengertian, yaitu; Paramasiwatattwa, Sadasiwatattwa, dan Atmikatattwa. Hal ini dijelaskan dalam Tattwajnana 3, dan 4. Secara garis besar pengertiannya sebagai berikut.
“Paramasiwatattwa adalah Bhatara dalam keadaan tanpa bentuk, tidak bergerak, tidak guncang, tidak pergi, tidak mengalir, tidak ada asal, tidak ada yang dituju, tidak berawal, tidak berakhir, hanya tetap kukuh, tidak bergerak, diam selama-lamanya. Seluruh alam semesta dipenuhi-Nya, diliputi-Nya, disangga-Nya, disusupi-Nya, sapta bhuana itu oleh-Nya. Sapta patala dipenuhi sepenuh-penuhnya, tiada ruang yang tak terisi. Tidak dapat dikurangi, tidak dapat ditambah. Ia tanpa aktivitas, juga tanpa tujua. Tidak dapat diganggu oleh berbuatan baik atau buruk. Tidak dapat dikenal keseluruhannya, dst. …..” (terjemahan sloka Tattwajnanan 3)

“Inilah Sadasiwatattwa namanya. Bhatara Sadasiwatattwa bersifat wyāpāra. Wyāpāra artinya Ia dipenuhi oleh sarwājña (serba tahu) dan sarwakāryakartā (serba kerja). Sarwājña dan sarwakāryakartā adalah padmāsana sebagai tempat duduk Bhatara yang disebut çaduśakti, yaitu; jñānaśakti, wibhuśakti, prabhuśakti, dan kriyaśakti. Dst…” (terjemahan tatwajnana 4).

Jñānaśakti ada tiga jenisnya, yaitu : dūrādarśana, dūrāśrawana, dan dūrātmaka. Dūrādarśana adalah kemampuan melihat yang dekat maupun yang jauh, dūrāśrawana adalah kemampuan mendengar yang dekat maupun yang jauh, dan dūrātmaka adalah kemampuan mengetahui perbuatan yang dekat maupun yang jauh.

Wibhuśakti adalah tak ada kekurangannya di seluruh alam semesta ini. Prabhuśakti adalah tak dapat dirintangi segala yang dikehendakinya. Kriyaśakti adalah kemampuan mengadakan atau menciptakan seluruh alam semesta ini termasuk para dewa seperti Brahma, Wisnu, Iswara, dan lain-lain.

Sedangkan Atmikatattwa adalah kondisi ketika Bhatara Sadasiwa mengalami ūtaprota. Ūtaprota artinya dalam tenunan. Bhatara Sadasiwatattwa disebut ūta bila menyusupi memenuhi mayatattwa seperti api yang berada dalam kayu. Walaupun demikian hakikat Bhatara Siwa tetap sebagai kesadaran murni atau cetana. Ia laksana pertama yang ditutupi oleh mayatattwa maka cahaya permata itu tidak tampak. Inilah yang disebut prota. Bila permata itu dipisahkan dari warna yang melekat pada dirinya maka ia akan kembali pada wujud yang sebenarnya.

III.      PENUTUP
Demikianlah ajaran ketuhanan dalam Siwatattwa. Dengan mempelajari ajaran ketuhanan dalam Siwatattwa dan ajaran-ajaran lainnya dalam Siwatattwa, maka akan lebih jelas tentang konsep ketuhanan yang telah diajarkan pada masyarakat Hindu Nusantara. Kegiatan-kegiatan ritual yang penuh dengan perlambang yang dilaksanakan selama ini, ternyata memiliki kaitan yang erat dengan ajaran dalam Siwatattwa. Semoga bermanfaat.

                                                                                         Depok, 10 October 2009
                                                                                        
                                                                                         Karnadi